Di era awal 1970-an saat melambungnya harga minyak, mata dunia terbuka bahwa batubara merupakan sumber energi alternatif yang murah dan memiliki cadangan besar. Di awal tahun 1976, Unit Produksi TABA yang merupakan bagian dari Perum Batubara mendapatkan kunjungan dari pihak Bank Dunia. Unit yang memiliki kapasitas produksi tahunan 122,000 ton saat itu telah memiliki studi kelayakan sederhana dan memiliki angka produksi yang tidak melebihi 1 juta ton per tahun. Kemudian diputuskan untuk mengubah coal mining project menjadi coal mining transportation atau pertambangan terpadu.
Pertambangan Terpadu ini dalam perencanaannya transportasi batubara akan menempuh perjalanan darat sejauh 420 kilometer dan perjalanan laut 100 kilometer dari lokasi awal (hulu) di area penambangan batubara Tanjung Enim, dan berujung (hilir) di PLTU Suralaya. Untuk studi kelayakan terpadu program pengembangan ini sendiri, Bank Dunia dan pemerintah RI masing-masing mengeluarkan anggaran 10 juta dolar AS.
Pemerintah RI memutuskan untuk melanjutkan pembangunan tambang terpadu ini dan dibentuklah PTBA di tahun 1981 untuk melaksanakan pembangunan tambang dan pelabuhan. PTBA mendapat pinjaman 185 juta dolar AS, dimana 120 juta dolar AS merupakan pinjaman dari Bank Dunia selaku project sponsor. Sisanya merupakan pinjaman dari beberapa negara seperti Jerman (KFW), Jepang, Kanada dan Belanda. Pemerintah Republik Indonesia (RI) pun turut memberikan pinjaman dengan nilai yang sama dalam bentuk mata uang rupiah. Selain itu pemberi pinjaman lainnya dari dalam negri adalah Bank BNI 46. Berdasarkan data dari Laporan Tahunan 2014, produksi PTBA di tahun 2014 sudah mencapai angka 16,3 juta ton per tahun dengan net profit 2,02 Triliun rupiah.